03 Mei 2008

Membangun Masyarakat Terdidik

MANUSIA merupakan makhluk Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Karena manusia diciptakan Allah SWT memiliki kelebihan yakni akal. Dengan akal Manusia mampu merubah alam semesta ini untuk membawa kemaslahatan manusia lainnya, dengan akal manusia menjadi terdidik, mulia, berkarya dan sebagainya. Manusia terdidik tentunya akan mampu membawa perubahan mendasar terhadap hidup dan kehidupan dirinya ataupun untuk kehidupan manusia lainnya.

Oleh sebab itulah, disebutkan bahwa pendidikan merupakan sebuah hakiki dan hak azazi bagi setiap manusia.Bahwa pendidikan adalah persoalan khas manusia. Artinya, dengan pendidikan manusia bisa melangsungkan kehidupannya dalam mencapai tujuan. Untuk itu, mutlak diperlukan suatu perkembangan. Dalam rangka menciptakan perkembangan, mutlak harus dilakukan perubahan-perubahan. Untuk membuat perubahan, manusia harus me-miliki daya kompetensi (keahlian), kecakapan (capability), dan keterampilan (skill) hidup. Ketiganya berakar dari potensi kodrat yang ada di dalam diri manusia, berupa rasa, karsa, dan cipta. ‘Rasa’ berhubungan dengan wawasan hidup, ‘karsa’ berhubungan dengan dorongan hidup, dan ‘cipta’ berhubungan dengan kreativitas hidup.

Terhadap ketiga hal itulah pendidikan menanamkan orientasi dasarnya. Oleh sebab itu, pada bagian ini berisi bahasan tentang kesimpulan dan penilaian suatu filsafat hidup, sikap hidup, dan perilaku hidup yang diyakini ideal.Setiap orang yang sadar tentang dari mana asal mulanya, ke mana tujuannya, dan sadar tentang segala sesuatu yang seharusnya dilakukan sepanjang eksistensi kehidupannya, pasti mempunyai filsafat hidup, yang penuh berisi tentang wawasan hidup. Tetapi filsafat hidup mana yang dapat disimpulkan dan dinilai sebagai kebenaran, tergantung pada kualitas kesadarannya itu tadi.

Asal mula dan tujuan kehidupan pada dasarnya satu dalam substansinya. Keduanya bersubstansi dunia ‘transendental’, dunia dimana pikiran dan pengalaman manusia tidak bisa menjangkaunya. Jadi bersifat spiritual. Karena itu, segala sesuatu yang ada ini mutlak berasal dari dan berakhir pada dunia transendental dan spiritual. Manusia lahir dengan badannya, hidup dan berkembang serta kemudian mati atas badannya pula. Jadi badan bukanlah materi belaka, badan adalah jiwa yang maujud. Pandangan demikian mencerminkan tingkat kesadaran yang mengandung kebenaran tertinggi, mencerminkan adanya kecerdasan spiritual. Inilah yang dimaksud dengan kualitas kesadaran, yang jika dikembangkan secara terus menerus dan bertahap dalam kegiatan pendidikan, kemudian dapat membentuk filsafat hidup.

Filsafat hidup yang transendental dan bersifat spiritual akan membentuk sikap dan perilaku hidup yang spiritual pula. Sikap hidup demikian berisi tentang pendapat dan pendirian yang kukuh, dan karena itu cenderung menyikapi segala sesuatu secara spiritual pula. Mulai dari oksigen, hidrogen, mineral lain, tumbuhan dan hewan, apalagi manusia, semuanya adalah substansi spiritual yang mewujud dan karena itu harus disikapi secara spiritual. Sifat spiritual itu dapat dibuktikan bahwa dengan oksigen, hidrogen, dan mineral lainnya, hidup dan kehidupan ini bisa berlangsung. Jadi, ketiga unsur alam itu bukanlah materi belaka. Sebab jika materi belaka, pastilah tidak pernah bisa menghidupi dan menghiclupkan makhluk-makhluk tumbuhan, hewan, dan manusia. Inilah yang dimaksud dengan sikap hidup spiritual transendental, sikap hidup yang berisi kecerdasan inteligensi.

Menurut hukum sebab akibat, sikap hidup spiritual transendental secara langsung mendorong perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang juga bersifat spiritual. Perilaku spiritual yang dimaksud adalah ‘memperlakukan segala sesuatu menurut nilai hakikinya’. Perilaku terhadap makanan, misalnya, bukan hanya sekadar enak di lidah dan kenyang di perut, melainkan perilaku yang terkendali (cerdas emosi) kearah kesehatan hidup. Jadi cerdas emosional berarti perilaku yang selalu berdasar pada pertimbangan nilai hakiki dari objek perilaku itu. Persoalan tentang perilaku makan tadi adalah makan untuk hidup, bukannya hidup untuk makan. Dari contoh ini, dapat dipahami bahwa jika semua benda atau hal apa pun diperlakukan secara cerdas menurut nilai hakikinya, dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi ‘pelampauan batas’ dalam perilaku.

Artinya, secara konkret perilaku yang berisi kecerdasan emosional mutlak tidak membiarkan terjadinya keserakahan hidup.
Oleh sebab itu, perilaku yang berdasar pada kecerdasan emosional, yakni perilaku yang tidak melampaui batas, selan-jutnya mengandung makna, yaitu "memperlakukan segala sesuatu secara adil". Ada beberapa kategori perilaku adil, yakni: adil terhadap diri sendiri, adil terhadap sesamanya, adil terhadap alamnya, dan adil terhadap causa prima.Pertama, adil terhadap diri sendiri. Yaitu, memperlakukan diri sendiri pada batas hakikatnya sebagai manusia, bukan bi-natang. Manusia mendukung hakikat kodrat sebagai ‘pemimpin’ kehidupan. Sebagai pemimpin, sesuai dengan nilai hakikinya, selalu berusaha menjaga dan mengembangkan, bukan merusak diri sendiri dan kehidupannya. Karena itu, pengendalian diri untuk tidak berperilaku melampaui batas adalah wujud perilaku berkeadilan. Jika diri sendiri sebagai politikus, ekonom, penegak keadilan, pendidikan, dokter, dan sebagainya, maka mereka harus adil terhadap tujuan politik, ekonomi, hukum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Setiap peran yang disandang oleh individu, mutlak menuntut perilaku adil terhadap peranan yang disandangnya itu.

Hal ini berarti perilaku adil itu berupa perilaku yang bertanggung jawab.
Kedua, adil terhadap sesama manusia. Perilaku adil dengan penuh tanggung jawab terhadap diri sendiri adalah dasar bagi perilaku adil dan bertanggung jawab terhadap sesama manusia. Jika terhadap diri sendiri diperlakukan secara manusiawi, maka terhadap sesamanya wajib memperlakukan secara manusiawi pula. Karena itu, memperlakukan sesama manusia secara manipulatif, intimidatif, koruptif, dan sebagainya, sehingga membuat mereka menjadi turun derajatnya sebagai manusia, sangat bertentangan dengan hakikat keberadaan manusia.

Ketiga, adil terhadap keluarga. Perilaku adil terhadap keluarga juga merupakan tanggungjawab manusia terdidik, karena keluarga merupakan awal dari suatu proses pendidikan. Keluarga adalah cermin dari suatu kehidupan masyarakat, karena bermula dari keluargalah terbentuknya suatu masyarakat yang menjadi idaman semua orang, yakni masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin, masyarakat bermoral dan berteknologi, dan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Semua itu terlihat dari kehidupan di dalam sebuah keluarga, dan tepatlah dikatakan John Lock dalam karyanya yang dikenal tabularasa.

Keempat, adil terhadap alamnya. Perilaku ini berposisi dan berfungsi sentral bagi kelangsungan kehidupan. Jika manusia berperilaku adil terhadap alamnya, kelangsungan hidup ini dapat terjaga. Tetapi jika sebaliknya, kehidupan ini pasti menuju kehancuran, dan tentu pada gilirannya bisa menghancurkan kehidupan manusia sendiri. Karena fakta membuktikan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada alam dan sumber dayanya. Tidak ada alam, tidak bisa dipikirkan bagaimana keberadaan manusia. Berbuat adil terhadap alam artinya memperlakukan setiap anasir alam sebagaimana nilai hakikinya. Berbuat adil terhadap air, misalnya, berarti memperlakukan air sebagai sumber hidup.

Oleh karena itu, keempat keadilan yang disebutkan di atas, merupakan hakiki dari seorang manusia. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, maka tentunya keadilan tersebut tidak mustahil melekat pada diri manusia, dimana saja, kapan saja, dan siapa saja. Semoga.

Banyak Dibaca