Tahun ini, provinsi Riau genap berusia 52 tahun. Diusianya yang lebih dari setengah abad tersebut, negeri kaya raya ini masih saja bergumul dalam suasana kelam dan kabut. Nyaris tidak ada solusi ampuh untuk menyelesaikan persoalan pelik yang merupakan turunan dari pemikiran kalang-kabut itu. Karenanya, semua elemen dalam ruang lingkup ke-riau-an harus melakukan revolusi pemikiran sehingga cita-cita pendiri provinsi ini dapat diwujudkan.
KATA kelam dan kabut disini, merupakan istilah yang dilontarkan Budayawan Riau Al Azhar dalam pertemuan Riau Pos dengannya, Jumat (7/8) di ruang kerjanya Yayasan Bandar Serai. Kelam adalah perumpamaan dari krisis listrik berkepanjangan sedang kabut adalah tentang kebakaran hutan yang menciptakan asap tebal. Kondisi tersebut merupakan konsep dari implementasi pemikiran kalang kabut dari berbagai aspek. Kelam dan kabut seakan diciptakan sebagai cendramata alias hadiah untuk memperingati HUT Ke-52 tahun provinsi ini.
Kondisi inilah yang cukup nyata dirasakan masyarakat secara umum. Bahkan persoalan pelik tersebut bisa dikatakan, hanyalah bagian kecil masalah yang membalut Negeri Lancang Kuning ini. Lebih parah lagi, kata Al Azhar, dari 8,6 juta daratan Riau 5,5 juta di antaranya sudah menjadi lahan konsesi yang kerap menimbulkan konflik berkepanjangan antar masyarakat v perusahaan, perusahaan v perusahaan, pemerintahan desa v perusahaan, pemerintahan desa v pemerintahan desa hingga kabupaten dan provinsi.
“Semuanya terjadi akibat dari pemikiran yang kalang kabut para pemimpin negeri dan hampir seluruh elemen masyarakat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka masa depan Riau hanya tinggal ancaman belaka. Jadi pada titik 2009 ini saya mengajak pemimpin Riau untuk melakukan revolusi pemikiran. Saya pikir itulah solusi yang segera dilakukan untuk kemajuan bersama,” ulas Al Azhar.
Diuraikannya, baik krisis listrik dengan pemadaman bergilir, kebakaran hutan yang menimbulkan asap tebal, konflik lahan serta potensi lain seperti minyak, emas, batu bara dan sebagainya terjadi akibat dari cara pandang alam dengan konsep ekonomi semata. Sehingga 2,3 juta daratan Riau menjadi konsesi perusahaan-perusahaan raksasa dengan gaya kapitalis. Hasilnya, 2,3 juta daratan itu hanya dikuasai beberapa ribu orang dari empat juta jiwa yang menetek pada alam negeri yang kaya raya ini. Ruang hidup masyarakat tempatan kian hari kian menyempit yang mengakibatkan terjadinya konflik dimana-mana.
Dalam catatan Al Azhar, 2005 silam konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat yang terjadi di Riau menunjuk angka 120-an. Konflik itu semakin meluas dan bertambah banyak 2008 yang mencapai angka 500-an titik. Penambahan angka konflik antar perusahaan v masyarakat dan sebagainya itu seharusnya segera diselesaikan sebab yang dirugikan tetap saja masyarakat, bukan perusahaan apalagi pemerintah.
“Sebagus dan sebaik apapun solusi yang dicetuskan untuk menyesaikan sebuah konflik tidakkan menyelesaikan masalah sama sekali jika kebersamaan merevolusi pemikiran tidak dilakukan terlebih dahulu. Hal ini tentu saja harus dimulai dari pemimpin kita sebab dialah yang nantinya menurunkan ke masyarakat yang dipimpinnya,” ungkap Al Azhar menjelaskan maksudnya.
Sementara itu, kondisi yang tidak menguntungkan masyarakat tempatan menurunkan berbagai penyakit masyarakat (pekat) seperti semakin meluasnya peredaran narkoba, urbanisasi yang tidak terkontrol dan banyak lagi. Barangkali, munculnya hal-hal negatif yang merugikan itu merupakan turunan dari sistem ekonomi yang diwariskan Presiden RI Ke-2 yakni Soeharto. Sejak runtuhnya tonggak keperkasaan Orde Baru (Orba), maka Soeharto-Soeharto muncul di daerah-daerah, salah satunya Riau.
Al Azhar juga menegaskan, visi 2020 yang mengharapkan Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan Melayu di Asia Tenggara hanyalah konsep omong kosong belaka. “Visi itu hanya cita-cita yang membesar-besarkan hati untuk membangkitkan semangat kebersamaan. Sayangnya, yang dilakukan hanya menyentuh luar alias kulit-kulitnya saja. Kebudayaan seremonial semakin meraja lela dan mengaburkan makna kebudayaan itu sendiri,” katanya.
Konflik Kepentingan Berkepanjangan
Sastrawan kenamaan Riau Taufik Ikram Jamil yang secara jujur menuangkan pemikiran dalam berbagai karya-karyanya seperti puisi, cerpen dan roman berlatar sejarah ini menilai, hingga HUT Ke-52-nya, belum ada pencapaian yang menggembirakan. Negeri ini masih bertungkus lumus dalam konflik-konflik berkepanjangan.
Nyaris tidak ada maha karya yang menonjol dari seluruh bidang yang dikembangkan di daerah ini. Bahkan saat ini, bahkan sebelumnya persoalan listrik dan jalan belum bergarap secara maksimal. Tidak hanya itu pembakaran hutan kian meraja lela dan tidak pernah diselesaikan secara serius sehingga hari demi hari masyarakat didera sakit yang mengkhawatirkan.
“Hingga saat ini, belum ada perkembangan yang menonjol bahkan menggembirakan dari pencapaian-pencapaian dari cita-cita para pendahulu negeri ini. Karenanya, kita harus bekerja sama untuk bangkit dari keterpurukan ini,” ucap Taufik Ikram Jamil.
Selain itu, kebudayaan yang dijadikan sebagai pilar pembangunan negeri ini malah tidak dikerjakan dengan hati nurani. Lebih sekadar menciptakan suasana yang kulit-kulitnya saja sehingga visi 2020 bak mimpi yang takkan dapat diciptakan tepat waktu. Tidak terlihat sama sekali upaya maksimal pembangunan kebudayaan tersebut di permukaan.
Ditilik dari sudut pandang kebudayaan, terutama dari apresiasi kesenian misalnya, baik lembaga kesenian, institusi formal dan non formal, juga tidak terlihat perkembangannya. Begitu juga infrastruktur yang dibangun, tidak mampu mewakili keinginan para pelaku seni budaya sehingga gedung-gedung megah yang dibangun, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Venues itu, seperti di longgokkan begitu saja tanpa diketahui secara pasti kegunaannya bagi perkembangan aksi kebudayaan sebenarnya.
Perhatian juga semakin menurun. Padahal kebudayaan diamanatkan sebagai pilar pembangunan daerah. Lebih parah lagi, bangunan Anjung Seni Idrus Tintin yang katanya salah satu gedung teater termegah di Indonesia, malah kerap diseraki sampah-sampah dari berbagai iven seperti expo-expo. “Ibarat melempar sampah pada sesuatu yang dianggap sakral,” kata Taufik mengakhiri.***
Sumber: Riau Pos Ahad (9/8) 2009
Dukung:
Rusli Zainal Sang Visioner