10 Januari 2010

Soeripto, Mengenang Mantan Gubernur Riau

Soeripto Soeripto Mengenang Mantan Gubernur RiauSoeripto, lengkapnya Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Soeripto, kelahiran Madiun, Jawa Timur, 18 November 1934 adalah mantan Gubernur Riau selama dua periode. Soeripto merupakan alumnus AMN Magelang 1960.

Sebelum menjabat Gubernur pertama kalinya pada tahun 1988, jabatannya kemiliteran cukup menonjol, antara lain dengan pangkat kolonel menjadi Asintel Kowilhan I, lalu Brigadir Jenderal TNI menjabat Kas Kostrad kemudian dengan pangkat sama menjabat Pangdam I Bukit Barisan. Puncak karir kemiliterannya adalah ketika berpangkat Mayor Jenderal TNI menjabat Pangkostrad.

Mengenang masa lalu ketika Riau dipimpin oleh gubenur bukan Melayu, bahkan datang dari Jakarta. Soeripto waktu-itu (1988) berumur 53 tahun menang mengumpulkan 35 suara dari 44 suara Faksi DPRD, terpilih menjadi Gubernur.

Soeritpo, nama saja jelas Jawa bahkan didatangkan dari Jakarta. Namun, dalam perjalanan pemerintahannya, Soeripto sangat terbuka terhadap Melayu. Simbol-simbol kemelayuan juga hidup hingga hari pensiunnya. Bandingkan zaman Saleh Djasit dan Rusli Zainal, notabene Riau tulen.

Mengapa Soeripto bisa merasakan adat resam Melayu, padahal bukan anak Melayu? Bahkan, saat itu, daerah ini khususnya ibu kotanya notabene kota heterogen, aura kemelayuan begitu terasa? Jangan melihat dari segi bahasa yang digunakan masyarakatnya, karena bahasa pergaulan di pasar-pasar memang menggunakan bahasa Minang. Pasalnya, pedagangnya memang kebanyakan dari Sumatera Barat, sehingga kalau mau barang berharga miring, pakailah bahasa pedagangnya. Begitulah pemahaman orang sampai sekarang.

Tapi lihatlah betapa masykarakat, saat Soeripto memimpin, dilanda malay-fever, demam bak orang Melayu. Tak Batak, tak Jawa, tak Minang, mereka berlomba-lomba mengaku Melayu. Mereka merasa jadi orang Riau, mau tidak mau harus tunduk atas segala adat resam sebagai penduduk Riau atau malay citizen, orang Melayu-Riau.

Bahkan sempat populer sebuah pantun ”politis”. Simak saja:

Bukan kampak sembarang kampak
Kampak ini pembelah kayu
Bukan Batak sembarang Batak
Batak ini sudah jadi Melayu

Kini Mantan Gubernur, Soeripto telah tiada, berpulang kehadirat Tuhan Maha Esa pada Kamis (7/1/2010) pukul 14.15 WIB, Rumah Sakit MMC Jakarta. Selamat jalan Soeripto.

Dikutip langsung dari
- Candra Ibarhim (Batam Pos)
- MS, Irwan E. Siregar, Riza Sofyat (Tempo Biro Medan & Bandung)

2 komentar:

  1. Jangan ngawur , Riau sebelum memasuki zaman reformasi dan otonomi daerah itu ibarat zaman jahiliyah, zaman pembungkaman dan hegemoni "militer" ala Zaman orde baru sangat terasa waktu itu. Mana ada kebebasan demokrasi . Lihat saja gubernur kita dari dulu sampai Soeripto (termasuk saleh djasit) itu orang dari kalangan militer semua, jenderal-jenderal. TIDAK ADA aura KEMELAYUAN RIAU yang sesungguhnya itu waktu jaman-jaman mereka ini. Lihat saja sepanjang jalanan protokol di Kota Pekanbaru penuh semua dengan tugu-tugu dan monumen senjata-senjata ala militer ini, mulai dari tugu pesawat, tank baja, bambu runcing, dll.

    Aura kemelayuan itu justru sangat terasa sejak pemerintahan RUSLI ZAINAL ini lah. lihat saja pembinaan dan pembangunan kebudayaan, seni, bahasa Melayu betul-betul diimplementasikan di segala bidang dan kesehari-harian masayarakat. Dulu mana ada siswa2 dan PNS pakai baju Melayu di hari Jumat, mana ada kurikulum berbasis Budaya Melayu, bagaimana bentuk bangunan2 pemerintahan kita dulu?? dsb.


    Sebagai provinsi kaya minyak di masa lalu, pembungkaman memang terjadi di Riau, karena gubernur di era dulu, bukan orang Riau asli. Jadi banyak aspirasi rakyat setempat yang hilang lenyap, dan timbul gambaran bahwa rakyat RIau dulu itu patuh dicucuk hidung sama pusat. Ya, gubernur nya aja pilihan Pemerintah Pusat

    Seharusnya proses pemilihan gubernur di masa lalu adalah melalui pemilihan/voting di DPRD Provinsi (bahasa dulunya DPRD DATI I). Kala itu putra daerah asli Riau terpilih, tapi karena Pusat kala itu mau membungkam Riau. Maka nama itu dicoret dan diganti dengan nama pilihan Pemerintah Pusat.

    Riau dulu pernah produksi minyak sampai 1 juta barrel per hari (setara produksi total minyak Indonesia hari ini). Tapi di tahun 1980-an , Riau tidak booming ekonominya. Riau stagnan, bahkan lebih stagnan dari Sumatra Barat. Riau baru mulai agak mendingan, setelah egoisme pusat agak melunak di tahun 1990-an. Ehh, kita dulu dipecundangi juga waktu pembentukan ZOna Perdagangan Bebas di Batam. Karena yang mendapat wewenang justru Otorita Batam, kala itu pemerintah kota Batam yang bertanggung jawab pada pemerintah Provinsi Riau... tidak lebih sebagai hiasan administratif belaka (syarat ada doang ...).

    Wahh, memang derita Riau untuk jadi kayak hari ini, sangat tidak bisa dibilang sedikit. Kemajuan kita yang satu persatu dijajaki hari ini, adalah dendam-dendam lama ... akibat pembungkaman di era 1980-an dulu.

    BalasHapus

Banyak Dibaca