Mungkin karena di cangkang lingkitang selalu ditumbuhi lumut, meski telah dicuci dulu sebelum dimasak namun sisa-sisa lumut hijau bercampur kuah gulai dapat menambah perisa makanan. Secara fisik lingkitang memang tidak indah. Jalannya sangat lambat, besirensuik (berjalan perlahan) di bibir sungai
Sementara burung bentialau adalah burung yang sangat elok. Warnanya kuning, rancak bak mahkota raja. Besarnya sedikit lebih gemuk dari burung balam. Setiap pagi dan memasuki senja hari biasanya burung ini berkicau di atas pohon-pohon yang tumbuh besar di tepi Sungai Kuantan. Bisa di atas pohon beringin besar yang akarnya menjulai ke aliran sungai atau di atas pohon rengas yang banyak tumbuh di teluk-teluk pematang sungai. Burung bentialau sekarang sudah langka. Habitatnya banyak yang punah akibat penggundulan hutan maupun runtuhnya pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai, tergerus banjir.
Kicau burung bentialau sangat indah dengan lantunan irama yang panjang dan memelas. Durasi kicaunya seperti mendendangkan sebait pantun. Oleh masyarakat Pulau Aro Teluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi kicau burung bentialau menjadi mitos dan legenda yang mengandung makna filosofis yang sangat dalam. Kicau burung bentialau disairkan masyarakat sebagai berikut; Bentialau, ke mudiak den kacau, ke ulak den kacau, lingkitang juo nan punyo rantau. Artinya, hei akulah bentialau, ke hulu sudah ku jelajahi, ke hilir sudah ku jejaki, lingkitang juga yang menguasai jagad raya ini.
Syair kicau burung bentialau dalam khasanah legenda masyarakat tersebut muncul dari cerita dongeng antara lingkitang dan burung bentialau tersebut. Suatu ketika, dengan keelokannya, kegagahannya dan kemerduan suara kicaunya burung bentialau bertengger di atas pohon beringin yang tumbuh di tepi Sungai Kuantan. Menengok seekor lingkitang yang berjalan besirensuik di bibir sungai sang bentialau pun mengolok-olok kejelekan dan lemahnya gerak-gerik sang lingkitang. Lalu dengan sombongnya ia memamerkan keindahan bulu, kegagahan bentuk dan kemerduan kicaunya pada lingkitang. Malah menantang lingkitang untuk beradu cepat sampai di hulu sungai. Mendengar tantangan tersebut lingkitang tentu saja gentar dan ciut nyalinya. Hanya saja dia minta waktu pada burung bentialau untuk berfikir. Syarat itu diterima bentialau.
Selang dua hari burung bentialau kembali bertengger di atas pohon beringin di tepi sungai. Kembali ia melihat lingkitang dan dengan congkak ia bertanya apa sanggup melawannya beradu cepat sampai ke hulu sungai. Tanpa basa-basi lingkitang menerima tawaran itu dan bentialau tertawa terpingkal-pingkal. Ia menganggap mustahil lingkitang akan menang karena kemampuan terbangnya yang sangat cepat. Disepakatilah pancang finish-nya di pohon rengas nun jauh di hulu sungai. Bentialau lalu menghitung tanda star, perpacuan dimulai dan terbanglah ia dengan kecepatan tinggi ke hulu sungai, lalu hinggap di ranting pohon rengas. Baru saja ia hinggap lingkitang sudah menyapanya: Hai bentialau, baru tiba kau rupanya? Aku sudah dari tadi sampai, kenapa kau lambat sekali? Burung bentialau kaget tak alang kepalang. Merasa tak percaya atas apa yang ia alami maka bentialau meminta pertarungan dilanjutkan untuk beradu cepat ke hilir sungai dengan finish di pohon beringin yang mereka gunakan untuk star sebelumnya. Lomba pun dimulai dan bentialau sudah sampai ke pohon beringin yang disepakati dengan kecepatan terbang yang lebih tinggi. Tapi apa yang terjadi? Lingkitang pun menyapanya, kenapa lambat betul kau sampai hai bentialau, aku sudah sedari tadi menunggumu. Bentialau pun semakin terperanjat dan tidak percaya kenapa bisa kalah oleh lingkitang yang jelek, lemah dan berjalan terseok-seok di bibir pantai.
Rupanya lingkitang sudah berbisik pada semua kerabatnya atas adanya tantangan sombong bentialau. Bentuk lingkitang yang mirip menyebabkab bentialau tak mampu membedakan mana lingkitang di hilir sungai dan yang di hulu sungai. Kelicikan lingkitang dan kesepakatan sesama mereka akhirnya mampu untuk mengalahkan bentialau. Sejak itu kicau burung bentialau berubah bunyi seperti irama yang disairkan masyarakat Pulau Aro Teluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi: Bentailau oh bentialau, ke mudiak den kacau ke ulak den kacau. Lingkitang juo nan punyo rantau. Bentialau benar-benar tak percaya akan dirinya yang gagah perkasa, elok dan rancak rupa, takluk di tangan lingkitang buruk dan lemah adanya.
Legenda dan cerita rakyat ini sering dinandongkan ibu ketika akan menidurkan anaknya. Makna yang dapat dipetik dari cerita tersebut sangat banyak. Kegagahan, kecantikan dan kepandaian bukanlah untuk disombongkan. Ada saja yang dapat dilakukan orang untuk meruntuhkan kesombongan itu. Tuhan menciptakan berbagai zat dan makhluk di muka bumi ini memiliki bentuk dan fungsinya masing-masing. Semua itu hendaklah dihargai dan saling melengkapi satu sama lain. Bukan untuk saling mengalahkan dan saling meniadakan. Keharmonisan tidak mungkin dicapai hanya dengan saling menindas dan mengecilkan arti orang lain. Keharmonisan hanya mungkin diperoleh bila satu sama lain saling menghargai dan memfungsikan masing-masing unsur sesuai dengan peran yang mampu ia mainkan.
Dalam khasanah manajemen modern konsep ini masih dipakai. Sinerji antar unsur adalah syarat mutlak mencapai kinerja yang optimal. Kerja sama yang kompak dari lingkitang yang lemah dan buruk rupa mampu menundukkan keangkuhan bentialau yang gagah perkasa. Sayangnya kemenagan itu tidak dicapai dengan jujur dan sportif. Kelicikan lingkitang bukanlah cerminan untuk diteladani. Namun, taktik dan strategi yang jitu adalah mutlak diperlukan menghadapi tantangan dan persaingan yang kian ketat. Oleh karenanya perlu dipelajari dengan memahai gambaran situasi terkini dan prediksi yang tepat untuk memperoleh kondisi yang mungkin timbul di masa yang akan datang.
Dalam konteks Riau teranyar legenda lingkitang dan bentialau patut kiranya direnung ulang. Para pemimpin Riau sepertinya tidak hentinya saling bertelagah menunjukkan kegagahan dan pesona masing-masing. Tebar pesona memang lagi ngetren dan hasilnya adalah program-program karitatif yang sangat tidak mendidik. Rakyat disuguhi program dan kebijakan yang hanya akan membuat mereka semakin tergantung dari belas kasihan penguasa. Proses kemandirian rakyat tidak digarap dan bahkan diabaikan demi kepentingan-kepentingan politik semata. Kebersamaan atas design sinerji peran tidak dipupuk. Kebersamaan hanya diciptakan atas dasar pemenuhan keperluan sesaat. Akibatnya, persatuan dan solidaritas menjadi rapuh. Rantau ini tidak mampu memberi manfaat bagi rakyatnya. Uang APBD menguap dengan jumlah yang sangat pantastis. Dana Rp13,16 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara wajar pemanfaatannya. Apa lagi hasilnya, tentu saja akan lebih bias lagi. Makin jauh panggang dari api.
Janganlah kita memelihara kecongkakan bentialau dan jangan pula menggunakan kelicikan lingkitang untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok secara sepihak. Pakailah keindahan, kegagahan dan kemolekan untuk merekat kebersamaan dan gunakanlah kecerdikat, strategi atau pun bahkan kelicikan bermain di tengah tantangan untuk membawa bahtera Riau menuju kemakmuran rakyatnya. Jangan sampai segala nikmat yang dianugerahkan Tuhan tak mampu dikelola untuk kesejahteraan bersama. Orang jua nanti yang akan menguasai rantau. Gagah lah surang, elok lah surang, berkicau lah surang, tapi kampuang kian digiriak urang datang. Sudah saatnya kita tidak hanya berkhotbah tetapi lebih penting adalah bagaimana mewujudkannya dalam tindakan nyata.***
* Edyanus Herman Halim Datuk Bisai XII, Urang Godang Limo Koto Di Tongah Rantau Nan Kurang Oso Duo Puluah Pemangku Adat Rantau Kuantan.
Sumber: Lingkitang dan Bentialau, Kuliner Kuansing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar