09 Juli 2009

Hasil Pilpres 2009 di Riau

Quick Count Lembaga Survei, Unggul di 30 Provinsi
SBY-Boediono Menang Mutlak di Riau

Pasangan Capres-Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono menang mutlak di Provinsi Riau dalam Pilpres yang berlangsung, Rabu (8/7). Dari data sementara yang diperoleh Riau Pos, perolehan suara pasangan nomor urut dua ini unggul di atas 50 persen dari pasangan lainnya— Megawati-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto— di 11 kabupaten/kota.

Perolehan suara yang berhasil dirangkum Riau Pos dari kabupaten/kota hingga pukul 22.30 WIB malam tadi, dari total 3.644.265 pemilih yang tercantum dalam DPT, sebanyak 398.040 suara diraih oleh pasangan Megawati-Prabowo, SBY-Boediono meraih 1.052.171 dan JK-Wiranto meraih 201.203 suara. Total suara yang berhasil dihimpun sebanyak 1.651.414 suara dengan 207.372 tidak sah. Bila dipersentase, pasangan Megawati-Prabowo meraih 24,10 persen, SBY-Boediono meraih 63,71 persen dan JK-Wiranto meraih 12,18 persen.(Selengkapnya lihat grafis).

Meski jumlah suara terdata baru mencapai sekitar 50 persen dari DPT, diprediksi persentase tidak akan berubah banyak karena dari pantauan langsung Riau Pos di beberapa TPS, pasangan yang diusung koalisi Partai Demokrat ini unggul jauh. Selain itu, hasil quick count lembaga survei mengungkapkan pasangan ini unggul mencapai sekitar 67 persen di Bumi Lancang Kuning.

Di Kabupaten Inhil misalnya, yang menjadi salah satu lumbung Golkar pada Pemilu Legislatif lalu, untuk sementara pasangan SBY-Boedino berhasil unggul di 9 kecamatan dari 20 kecamatan di kabupaten ini. Sembilan kecamatan itu adalah Kecamatan Gaung, Keca­matan Mandah, Kecamatan Tembilahan, Kecamatan Teluk Belengkong, Kecamatan Reteh, Kecamatan Keritang, Kecamatan Kempas, Kecamatan Kateman dan Pulau Burung. Perolehan suara sementar pasangan SBY-Boediono meraih 74.579 suara, Mega-Prabowo 40.589 suara sementara JK-Wiranto 38.676 suara.

Sementara pemilih yang memberikan suaranya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) kemarin, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau Syofyan Samad sudah di atas 65 persen. Syofyan mengungkapkan angka ini berdasarkan laporan tiap kabupaten/kota.

‘’Partisipasi masyarakat di provinsi Riau untuk memberikan hak suaranya sudah cukup besar, mencapai lebih dari 65 persen. Ini kita peroleh dari sampel-sampel yang memberikan hak suaranya di TPS-TPS di daerah,’’ ujarnya.

Satu Putaran
Untuk seluruh Indonesia, bila hasil penghitungan cepat (quick count) sejumlah lembaga survei akurat, maka Pilpres 2009 ini akan tuntas dalam satu putaran untuk kemenangan pasangan SBY-Boediono. Bukan hanya karena pasangan bernomor urut dua itu memperoleh suara 50 persen plus satu, tapi distribusi suaranya mendominasi hampir seluruh provinsi di Indonesia yang berjumlah 33 provinsi.

“Pasangan SBY-Boediono sukses mendapatkan 20 persen di semua provinsi,” kata Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA di Jakarta, Rabu (8/7). Padahal, lanjutnya, UU Pilpres Nomor 42/ 2008 hanya mensyaratkan minimal separuhnya atau 17 provinsi saja.

Menurut Denny, diperbolehkannya penggunaan KTP untuk memilih justru menguntungkan SBY-Boediono. “Karena secara langsung juga ikut memperluas potensi pemilih mereka,” ujarnya.

Dari hasil quick count LSI Denny JA di 2.000 TPS, SBY-Boediono unggul dengan 60,15 persen. Perolehan ini juga tidak beda jauh dengan temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Syaiful Mujani yang mendapati 60,85 persen memilih duet incumbent itu. Begitu juga dengan hasil penghitungan cepat Cirus Surveyors Group, LP3ES, dan Metro TV. (data lengkap lihat grafis).

Manager Public Affairs Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menuturkan, SBY-Boediono memang berhasil memperoleh minimal 20 persen suara yang diperebutkan di semua provinsi. Bahkan, SBY-Boediono menjadi jawara di 30 provinsi. Kecuali Bali yang didominasi Megawati-Prabowo. Begitu juga Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang dimenangkan JK-Wiranto.

“Hampir seluruh pemilih di Aceh ternyata ke SBY-Boediono. Jumlahnya mencapai 93 persen,” kata Burhan, begitu dia akrab disapa.

Perolehan SBY juga mencolok di Sumatera Barat (80 persen), Sumatera Utara (72 persen), DKI Jakarta (71 persen), dan Lampung (69 persen).

Penghitungan cepat LSI ini dilakukan terhadap 2.116 TPS. Tapi, dalam prosesnya ada 11 TPS di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku yang tidak bisa mengirim data, karena ketiadaan sinyal telepon seluler. “Jadi, total suara masuk 99,48 persen,” jelasnya. Toleransi kesalahan (margin of error) pada quick count ini plusminus 1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Burhan menuturkan putusan MK yang membolehkan penggunaan KTP untuk memilih menjadi kado demokrasi bagi seluruh rakyat. Keputusan MK, jelas dia, akan meningkatkan legitimasi Pilpres. Karena protes terhadap pemilih yang tidak terdaftar di DPT sudah diakomodasi.

“Secara politis, keputusan MK ini menguntungkan SBY. Karena sekarang sejatinya tidak ada lagi alasan bagi lawan-lawan politik SBY untuk menjadikan kecurangan sebagai kambing hitam,” katanya.

Burhan menyebut penggunaan KTP juga terbukti tidak mampu merubah peta elektoral. Faktanya, ungkap dia, memang hanya sekitar 2,4 persen pemilih saja yang tidak terdaftar di DPT dan boleh menggunakan KTP.

Kategori pemilih ini juga tidak bersifat diskriminatif ke salah satu pasangan calon saja. Melainkan terdistribusi secara proporsional ke semua pasangan calon. “Semua kandidat sebenarnya sama-sama dirugikan oleh tidak profesionalnya KPU,” ujar Burhan.

Burhan menambahkan sebagian besar swingvoter yang jumlahnya mencapai 18,6 persen ternyata pada detik-detik terakhir menjatuhkan pilihan kepada Mega-Prabowo.

Swing voter, jelas dia, memang sebutan bagi pemilih yang tidak “die hard” atau terlalu partisan terhadap pasangan calon yang berlaga di Pilpres atau tidak terikat dengan partai politik yang mendukung kandidat tertentu. “Saya menduga sosok Prabowo yang menarik perhatian mereka,” katanya.

Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru mempublikasikan hasil penghitungan sementara Pilpres sekitar pukul 20.00 WIB, Rabu (8/7) malam. Data yang ditampilkan di pusat penghitungan sementara suara nasional hingga jam tersebut baru mencapai 4.093.744 suara.

Untuk sementara, pasangan SBY-Boediono unggul dengan raihan 2.485.581 suara atau 60,72 persen. Disusul pasangan Megawati-Prabowo dengan 1.214.486 suara atau 29,67 persen. Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto menempati posisi terendah dengan 313.677 suara atau 9,62 persen.

Metode tabulasi nasional hasil pilpres oleh KPU ini dengan cara menerima pesan singkat atau SMS dari semua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Itu pun, tidak semua KPPS bisa mengirimkan pesan singkat. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dalam keterangan persnya menyebutkan, KPU hanya akan menerima 100 ribu SMS dari KPPS atau data dari 100 ribu TPS.

Hingga Rabu malam, dari 33 provinsi masih ada delapan provinsi yang data hasil penghitungan suara belum masuk ke KPU Pusat. Delapan provinsi itu yakni, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Abdul Hafiz sendiri tampak sumringah. Begitu pun anggota KPU Andi Nurpati. Dikatakan Hafiz, pelaksanaan Pilpres berjalan aman, lancar, tertib dan damai. Kelancaran itu terlihat dari proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di setiap tempat pemungutan suara (TPS).

Tak lupa, dia mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada masyarakat. “Kami berterima kasih kepada semua pihak telah berpartisipasi aktif dalam pemungutan suara Pemilu Presiden. Berdasarkan laporan dari berbagai pihak, termasuk petugas di lapangan, pemungutan dan penghitungan suara berjalan baik, lancar, tertib dan damai,” kata Hafiz.

Dijelaskan Hafiz, kelancaran pelaksanaan Pilpres lataran partisipasi masyarakat dan dukungan dari semua pihak. Selain pemilih, dia juga menyebut peran besar sekitar 5 juta orang aparat penyelenggara pemilu, peserta Pemilu, pemerintah, pemerintah daerah, Bawaslu, dan media massa yang sudah mendukung kelancaran pelaksanaan Pilpres. Hafiz menjanjikan akan menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara pada tanggal 22-24 Juli mendatang.

SBY Didukung Pemilih Irasional
Direktur Eksekutif Pusat Kebijakan dan Pengembangan Strategis (Puskaptis) Husin Yazid mengatakan, SBY unggul karena figur dan visi-misi yang lebih diterima pemilih dibandingkan dua Capres lainnya. “Mayoritas pemilih SBY itu 53 persen wanita dan 19 persen pemilih pemula. Pemilih wanita lebih patuh memilih, sehingga angka golput rendah. 40 persen wanita memilih karena figur. SBY itu dinilai ganteng dan punya perawakan jadi presiden, itu yang tidak dimiliki dua Capres lain,” katanya.

Husin menuturkan, SBY memiliki empat syarat kemenangan Capres, yakni figur, visi-misi, kompetensi,dan mesin politik. “Brand SBY sudah melekat lima tahun. Sementara dua lawannya baru efektif bekerja dua bulan terakhir. Tidak cukup waktu mengejar keunggulan elektibilitas SBY,” katanya.

Elektibilitas SBY juga tetap tinggi karena iklan masih efektif mempengaruhi preferensi pemilih yang kurang melek informasi. “Dukungan dari mesin politik itu hanya 11 persen, dibagi tiga kandidat. Faktor kerja keras tim kampanye, relawan, dan iklan adalah kunci kemenangan SBY,” paparnya.

Sementara, elektibilitas JK juga tidak bertambah tinggi karena maklumat dukungan dari NU dan Muhammadiyah tidak sampai ke kalangan bawah karena keterbatasan waktu. “Megawati masih tertolong militansi kader yang stabil. Dia berhasil mendapatkan tambahan 3-4 persen karena kerja keras relawan dan tim kampanyenya,” tandas Husin.

Masyarakat Belum Suka Sosok Agresif
Meski menyandang status incumbent, mengapa perolehan suara Capres Jusuf Kalla (JK) jeblok pada pilpres kali ini? Mengapa dukungan sejumlah tokoh-tokoh agama kepada JK tak mampu mendongkrak perolehan suaranya?

Ada beberapa faktor untuk menjawab pertanyaan ini.
Yang paling menonjol, JK dinilai terlambat memproklamirkan diri maju sebagai Capres. Ketua Umum Partai Golkar itu juga dianggap terlalu dini menampilkan diri sebagai sosok agresif dan kritis dalam konteks demokrasi di Indonesia.

Penilaian ini disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris. Dia menambahkan, seharusnya sejak awal JK berani mengumumkan diri sebagai Capres. “Awalnya Pak JK masih berkeinginan berpasangan dengan Pak SBY. Langkah dia memunculkan diri sebagai Capres terlalu mepet. Lihat saja baru berapa bulan,” jelasnya. Gaung JK muncul ke publik sebagai Capres juga baru dirasakan setelah Pemilu Legislatif.

Dia menambahkan, mesin politik Golkar juga tidak bekerja efektif memperjuangkan JK sebagai presiden. Meskipun disadari, bahwa pemilihan presiden memiliki karakter berbeda dengan Pemilu Legislatif. “Kalau dulu Pemilu tahun 1955 memang masih terpaku pada garis ideologi. Kalau sekarang lebih ketokohan. Mesin politiknya juga tidak efektif untuk ini,” ungkapnya.

Padahal JK memiliki potensi pendukung luar biasa. Di antaranya kedekatan dengan ulama yang memiliki basis massa. Mengacu hasil Pemilu Legislatif, pemilih Golkar juga merata di seluruh tanah air yang menang di 14 provinsi.

Di tataran pemikiran pemilih, kata Syamsudin, sudah telanjur terbentuk keberhasilan pemerintahan SBY. Di antaranya dua kali penurunan harga BBM, stabilitas keamanan dan pemberantasan korupsi yang merupakan kerja keras KPK. “Meskipun semuanya itu bukan prestasi, tapi sudah terbentuk di masyarakat,” terangnya.

Analisis berbeda diungkapkan Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf. Dia menilai, bahwa pemilih di negara ini belum siap menerima tokoh yang agresif, kritis dan bicara tanpa tedeng aling-aling seperti yang melekat pada sosok JK. Saat ini, kata Maswadi, yang lebih disukai masyarakat adalah tokoh yang berbicara normatif dan menjaga imej. “Yang disuka memang yang begitu,” ungkap pengamat politik asal Riau ini.

JK, terang Maswadi, tak bisa menampilkan diri seperti sikap yang ditampilkan SBY selama ini. “Tentu tidak bisa JK tampil seperti SBY. Karakternya memang lugas seperti itu,” jelasnya.

Dia mengungkapkan, demokrasi Indonesia berbeda dengan di barat yang sangat maju. Namun, Maswadi menyadari bahwa pikiran pemilih itu akan terus maju. “Saya memprediksi, tahun 2019 baru bisa menerima sosok seperti Pak JK,” terangnya.

Dia mengibaratkan demokrasi di Indonesia seperti debat Capres sebelum Pilpres. “Anda lihat bagaimana debat pertama, setelah beberapa kali debat baru berkualitas. Ibaratnya demokrasi seperti itu,” jelasnya.

Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan justru memandang perolehan suara JK dari perspektif yang lain. Menurut dia, suara JK dalam Pilpres kali ini justru meningkat. Sebab, survei terhadap tingkat keterpilihan JK hanya sekitar 2 persen. Sedangkan Megawati yang dulunya hanya 19 persen kini juga meningkat. Tapi, kontribusi pertambahan suara diberikan oleh dukungan suara Parbowo Subianto.

Anies mengungkapkan bahwa keterpilihan SBY saat ini diibaratkan dengan membeli motor baru. “Sekarang begini, kalau motor lama itu masih baik, tidak rewel, apakah akan membeli motor yang baru?,” terangnya. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap SBY juga masih tinggi.

JK, kata Anies, selama ini hanya popular di masyarakat perkotaan. Sementara pemilih di tingkat bawah condong memilih ke SBY. JK, kata Anies, juga tidak menawarkan perbedaan yang menonjol dibandingkan dengan SBY.

Sedangkan untuk Megawati, Anies memberikan analisis menarik. Pemilih Megawati dinilai sangat tidak pede untuk memilihnya. Ini terlihat dari exit poll yang cukup rendah, sementara hasil quick count tinggi. “Ini berarti pemilih itu tidak pede saat memilih Mega,” ungkapnya.

Sumber: Harian Riau Pos 9 Juli
Dukung: Rusli Zainal Sang Visioner

1 komentar:

  1. mantaBBb...
    di Riau maupun hampir di semua provinsi pak esbeye menang. bahkan di aceh menang skak mat 92%, lanjutkan !!!

    BalasHapus

Banyak Dibaca