13 Desember 2008

Sekolah sebagai Tempat Pencerdasan Anak Bangsa

Pada Teroka yang lalu kita telah membahas tentang pendidikan keluarga. Setelah pendidikan setelah keluarga kita akan menghadapi pendidikan sekolah. Di lihat dari posisinya, pendidikan sekolah berada di antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi demikian mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar, pencerdas, dan penerapan nilai budaya (transmission) nilai-nilai kultural (spiritual kemanusiaan) yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam setiap aspek hidup dan kehidupan.

Artinya bahwa peran pendidikan sekolah wajib mengolah benih nilai moral-spiritual kemanusiaan dari keluarga menjadi kecerdasan intelektual. Ada pun kecerdasan intelektual mengandung isi nilai kebenaran yang bersifat rasional, logika dan empirikal. Menurut berbagai pendapat bahwa orang terdidik yang cerdas daya intelektualnya (educated person). Orang terdidik berarti ahli, menguasai sua­tu bidang studi (competent), mempunyai daya kreativitas dan inisiatif dengan kemampuan mengembangkan asumsi-asumsi dan pendapat-pendapat untuk kemudian disusun menjadi sebuah teori yang benar dalam lingkup bidang studinya.


Teori yang benar adalah terukur atau ada indikator baik secara rasional maupun empirik. Oleh sebab itu, ilmuwan bukan hanya ahli menyusun teori saja, tapi juga harus mampu dan mau mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Itu berarti ilmuwan dituntut untuk menjalankan suatu sikap dan perilaku ilmiah (sesuai dengan teori keilmuannya itu). Sikap dan perilaku ilmiah secara konkret dapat berwujud dalam perilaku jujur dan adil. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan juga dituntut untuk cakap (capable) dan terampil (skillful) dalam mengamalkan ilmunya di dalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap ilmuwan bersikap dan berperilaku ilmiah, diharapkan mereka menjadi model percontohan bagi masyarakat luas.

Perlu kiranya bagaimana lembaga pendikan sekolah mengelola sistem pembelajaran untuk membangun sumber daya manusia yang cerdas intelektual, ilmiah, yaitu ahli dalam bidangnya, cakap, terampil, mandiri, kreatif, berbudi pekerti luhur dan jujur atau adil dalam bersikap dan berperiaku. Untuk mencapai sasaran itu, sedikitnya dua hal yang harus dipersiapkan, yaitu materi pem­belajaran dan pengelolaannya.

Pertama, materi pembelajaran perlu diorganisasikan da­lam bentuk kurikulum, dan disusun secara berjenjang me­nurut sasaran-sasaran konkret. Pengorganisasian kurikulum disusun berdasar pada sistem penjenjangan pendidikan seko­lah, yaitu pendidikan dasar (9 tahun), menengah (3 tahun) dan pendidikan tinggi (4 tahun). Untuk jenjang pendidikan dasar, organisasi kurikulum disusun dengan sasaran utama pembinaan keterampilan hidup (life skill).

Cakupan materi pembelajaran yang dominan pada muatan lokal merupakan intisari dari potensi lingkung­an sosial budaya dan lingkungan alam daerah setempat. Untuk jenjang pendidikan menengah, sasaran utamanya adalah pembinaan kecakapan hidup (life ability). Cakupan materi pem­belajaran tetap dominan pada muatan lokal, tapi perlu diperluas. Sedangkan kurikulum pendidikan tinggi sasaran utamanya adalah pembinaan kecerdasan hidup (life educated). Cakupan materi pembelajaran dominan pada muatan nasional bahkan internasional.

Kedua, sistem organisasi administrasi manajemen pendidikan perlu direkonstruksi, dengan lebih melibatkan potensi masyarakat. Artinya, pengelolaan pendidikan sekolah dilakukan bersama antara sekolah dan masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini Departemen pendidikan, berperan sebagai fasilitator dan tidak perlu campur tangan terlalu jauh.

Pengelolaan pendidikan dikembalikan kepada sekolah itu sendiri, dengan sistem otonomi sekolah. Untuk itu, organisasi “Komite Sekolah” perlu disusun kembali berdasar pada filosofi bahwa pendidikan sekolah adalah institusi sosial, dari masyarakat, oleh, dan untuk masyarakat. Oleh sebab itu, komite sekolah perlu dilibatkan dalam segala usaha peningkatan mutu pendidikan, misalnya kepengawasan dalam batas tertentu dan khususnya masalah penghimpunan biaya pendidikan.
Kemudian, manajemen pembelajaran perlu diper­barui pola dasarnya dengan orientasi sentral pada subjek pembelajar (student centred orientation).

Model pola pembelajaran demikian diharapkan dapat memerankan pembelajar secara aktif, sehingga potensi kreativitas dapat dieksplorasi secara optimum. Untuk itu, diperlukan pembimbing atau guru yang kompeten dan sistem administrasi manajemen pendidikan yang demokratik-partisipatif. Di samping itu, untuk menunjang kelancaran belajar, perlu ketersediaan sarana yang memadai.

Jika organisasi kurikulum dan sistem manajemen pembelajaran tersebut dapat diselenggarakan, diharapkan dapat dihasilkan luaran yang berkualitas dalam hal kecerdasan intelektual, kecerdasan sikap, dan kecerdasan perilakunya. Secara akumulatif, kualitas luaran dimaksud adalah pribadi terdidik yang cerdas, cakap, terampil, mandiri, dan memiliki daya kreativitas tinggi untuk pembaruan kehidupan masyarakatnya. Semoga.***

Banyak Dibaca